Di desa Tasikhargo terdapat dua tempat budidaya jamur
yang keduanya terletak di dusun Juru Tengah. Budidaya Jamur ini merupakan milik
Mas Mul, dan Mas Anas. Awalnya mereka mengikuti pelatihan jamur sekitar tahun
2010. Pelatihan jamur ini diprakarsai oleh Pak Teguh dan Pak Purwanto yang
bergerak dalam bidang wirausaha. Mereka sudah berpengalaman dalam usaha jamur
sehingga mereka memberikan pelatihan kepada warga lain. Kedua orang ini bukan
berasal dari Tasikhargo, tetapi mereka peduli akan pengembangan desa tidak
hanya desa yang mereka tinggali tetapi juga desa-desa lainnya. Maka dari itu
mereka mencoba merangkul orang-orang khususnya pemuda untuk berwirausaha,
termasuk Mas Mul dan Mas Anas. Selain mengikuti pelatihan, Mas Mul dan Mas Anas
juga berkunjung ke Jejamuran di Yogyakarta. Mereka belajar banyak tentang
budidaya jamur dan mencoba berbagai macam olahan jamur di Jejamuran.
Hal tersebut menginspirasi mereka untuk mencoba
membuat budidaya jamur sendiri di Tasikhargo. Sebenarnya ada 10 orang yang
mengikuti pelatihan tersebut, namun hanya ada dua orang (Mas Mul dan Mas Anas)
yang tergerak untuk membuat budidaya jamur. Dengan modal awal kurang lebih dua
juta rupiah, mereka membuat rumah jamur sederhana dengan dinding dari bambu.
Rumah jamur ini pun tidak terlalu luas, namun bisa menampung banyak baglog.
Rumah jamur ini didirikan di samping rumah Mas Anas, sedangkan Mas Mul membuat
rumah jamur di belakang rumahnya. Setelah beberapa tahun, usaha mereka pun
berkembang sehingga tempat untuk media jamur pun semakin banyak. Di rumah Mas
Mul terdapat dua tempat budidaya jamur, yaitu di belakang rumah dan di dalam
rumah. Sedangkan di rumah Mas Anas, ada tiga titik yaitu di samping rumah, dan
dua titik di dalam rumah. Jamur yang dibudidayakan adalah Jamur Tiram dan Jamur
Kuping. Namun, yang paling banyak dibudidayakan adalah Jamur Tiram putih.
Bibit jamur (spora) didapatkan dari Sukoharjo,
karena di Tasikhargo tidak ada yang menjual spora jamur. Spora jamur ini berada
dalam media botol dan dijual dengan harga Rp. 6000,- per botol. Satu botol
spora dapat disebarkan menjadi sekitar 40 baglog. Pembuatan baglog pun masih
dilakukan secara tradisional. Mereka memasukkan bahan-bahan untuk baglog
(gerajen kayu) ke dalam plastik tebal yang telah dilubangi. Kemudian baglog ini
disterilkan dengan cara disteam menggunakan dandang (panci besar) selama enam jam. Proses ini memakan waktu
yang sangat lama karena satu panci hanya memuat sekitar dua puluh baglog.
Gerajen kayu didapatkan dari Sidoarjo, desa sebelah Tasikhargo, karena gerajen
kayu sulit didapatkan di Tasikhargo. Sebenarnya ada satu tempat gerajen kayu di
dekat dusun Tunggul, namun karena kualitas gerajen kayu di sana kurang bagus,
mereka lebih suka membeli gerajen kayu di Sidoarjo.
Proses perawatan jamur pun tidak terlalu susah.
Setelah baglog ditata rapi di rumah jamur, baglog akan disiram dua kali setiap
hari (atau sesuai dengan kondisi dan cuci). Penyiraman hanya dilakukan dengan
cara dispray. Hal ini bertujuan untuk
membuat rumah jamur tetap lembab sehingga jamur dapat tumbuh dengan baik. Jika
cuaca sedang sangat panas, Jamur Kuping susah untuk diproduksi. Jika ingin
tetap membudidayakan jamur kuping pada saat cuaca panas, sang pemilik harus
rajin-rajin menyiram baglog-baglog tersebut. Bahkan dalam waktu satu hari,
baglog bisa disiram sampai lima kali.
Setelah baglog siap dan sudah diberi spora, butuh
waktu sekitar dua bulan agar jamur-jamur kecil tumbuh. Awalnya, spora akan
menyebar membentuk serabut-serabut putih yang akan memenuhi baglog, kemudian
akan muncul tunas-tunas jamur di mulut baglog. Setelah empat sampai tujuh hari,
jamur ini akan tumbuh besar dan siap untuk dipanen. Sepuluh hari setelah jamur
pertama panen, tunas jamur kedua pun tumbuh dan bisa dipanen lagi. Satu baglog
bisa dipanen empat sampai lima kali. Namun jamurnya tidak akan sebesar pada
saat panen pertama. Biasanya kalau sudah panen keempat atau kelima, baglog akan
diganti dengan baglog yang baru. Penggantian baglog ini juga akan dilakukan
ketika baglog sudah menjadi keriput dan tidak bisa menjadi media tanam lagi.
Jika baglog sudah terserang oleh jamur-jamur liar yang berwarna hijau, baglog
akan disingkirkan dari yang lainnya agar jamur liar ini tidak menyerang
baglog-baglog lainnya. Maka dari itu, pemeriksaan rutin perlu dilakukan untuk
menjaga kualitas jamur.
System pemasaran jamur di Tasikhargo ini masih belum
begitu luas. Mas Anas selalu menitipkan jamur tiramnya ke tukang sayur yang
kemudian akan dijual di pasar. Harga 1 kg jamur tiram yang ia jual ke tukang
sayur adalah Rp 8.000,- , sedangkan kalau dia menjual sendiri di rumah harga
jamur adalah Rp 10.000,-. Biasanya hanya warga-warga sekitar yang membeli jamur
ke rumahnya. Mas Anas mengakui kalau dia belum membuat produk-produk hasil
olahan jamur karena masih susah diterapkan di desa Tasikhargo yang mana banyak
orang yang belum terbiasa mengonsumsi jamur. Sedangkan pemasaran jamur milik
Mas Mul lebih luas. Mas Anas memasarkan via online
seperti di berniaga.com. Dia sangat aktif memasarkannya di social media.
Namun, kebanyakan yang ia pasarkan adalah baglog-baglog, atau spora. Sedangkan
untuk Jamur Tiram mentah ia pasarkan untuk local. Sebenarnya fokus pemasaran
usahanya adalah di luar kota. Dia sering mengirimkan baglog-baglog ataupun
spora ke luar kota bahkan luar jawa. Selain itu, dia juga akan mengirimkan kripik
jamur ke luar kota. Meskipun begitu Mas Mul tidak membuat kripik jamur setiap
hari. Dia hanya membuat jika ada pesanan saja.
Persediaan jamur melimpah di dusun Juru Tengah,
namun sayangnya pemasarannya masih belum luas apalagi belum ada sistem
pembuatan olahan jamur yang terorganisasi. Jamur hanya dipasarkan mentahan saja
padahal jamur merupakan bahan makanan yang gampang rusak. Penyuluhan hasil
olahan jamur pun dilakukan namun terkendala oleh beberapa hal. Salah satu kendala
yang dihadapi adalah masih belum tersedianya alat-alat yang dibutuhkan untuk
memperlancar proses produksi, sehingga proses produksi memakan waktu yang
sangat lama. Selain itu, harga alat yang dibutuhkan seperti spinner tidaklah murah.
Selain belum tersedianya alat, pemasaran jamur agak
susah karena masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi jamur. Pemasaran
harusnya menembus daerah Wonogiri kota, karena jika hanya di wilayah Jatisrono,
minat warga masih belum terlalu tinggi untuk mengonsumsi jamur. Selain itu, di
Jatisrono terdapat rumah makan jamur milik Pak Teguh dan rumah makan ini masih
belum terlalu ramai mengingat kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi jamur
masih belum tinggi.
Untuk kedepannya, ada
kemungkinan untuk mengembangkan budidaya jamur ini. Mereka bisa membuat home industry, hanya saja mereka butuh
usaha yang sangat keras dan harus mampu merangkul semua kalangan. Mereka juga
mempunyai PR untuk menjalankan kembali koperasi dengan baik dan benar karena
koperasi di Tasikhargo terkesan mati dan kurang begitu terlihat kerjanya. Meskipun
begitu, hal mendasar yang harus segera dibenahi adalah kesadaran masyarakat
untuk berwirausaha dan berpikir kreatif. Mereka harus mampu melihat celah-celah
usaha. Untuk itu, perlu adanya seminar motivasi dan kewirausahaan untuk
memantik semangat mereka dan memberikan pengetahuan yang lebih dalam akan
wirausaha. Sebenarnya ada banyak jalan untuk berwirausaha dan ada banyak link yang bisa ditembus warga. Warga
bisa berkonsultasi dengan Pak Teguh atau Pak Purwantoro yang memang sudah
bergelut dalam wirausaha. Selain itu warga bisa bekerjasam dengan JPMI
(Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia), ataupun BMT Mitra Usaha Mandiri.
Tentunya semua ini perlu usaha keras dan niat agar tercipta home industry jamur yang terorganisasi.