Budidaya Jamur di Tasikhargo

Thursday, September 26, 2013 0 comments


Di desa Tasikhargo terdapat dua tempat budidaya jamur yang keduanya terletak di dusun Juru Tengah. Budidaya Jamur ini merupakan milik Mas Mul, dan Mas Anas. Awalnya mereka mengikuti pelatihan jamur sekitar tahun 2010. Pelatihan jamur ini diprakarsai oleh Pak Teguh dan Pak Purwanto yang bergerak dalam bidang wirausaha. Mereka sudah berpengalaman dalam usaha jamur sehingga mereka memberikan pelatihan kepada warga lain. Kedua orang ini bukan berasal dari Tasikhargo, tetapi mereka peduli akan pengembangan desa tidak hanya desa yang mereka tinggali tetapi juga desa-desa lainnya. Maka dari itu mereka mencoba merangkul orang-orang khususnya pemuda untuk berwirausaha, termasuk Mas Mul dan Mas Anas. Selain mengikuti pelatihan, Mas Mul dan Mas Anas juga berkunjung ke Jejamuran di Yogyakarta. Mereka belajar banyak tentang budidaya jamur dan mencoba berbagai macam olahan jamur di Jejamuran.
Hal tersebut menginspirasi mereka untuk mencoba membuat budidaya jamur sendiri di Tasikhargo. Sebenarnya ada 10 orang yang mengikuti pelatihan tersebut, namun hanya ada dua orang (Mas Mul dan Mas Anas) yang tergerak untuk membuat budidaya jamur. Dengan modal awal kurang lebih dua juta rupiah, mereka membuat rumah jamur sederhana dengan dinding dari bambu. Rumah jamur ini pun tidak terlalu luas, namun bisa menampung banyak baglog. Rumah jamur ini didirikan di samping rumah Mas Anas, sedangkan Mas Mul membuat rumah jamur di belakang rumahnya. Setelah beberapa tahun, usaha mereka pun berkembang sehingga tempat untuk media jamur pun semakin banyak. Di rumah Mas Mul terdapat dua tempat budidaya jamur, yaitu di belakang rumah dan di dalam rumah. Sedangkan di rumah Mas Anas, ada tiga titik yaitu di samping rumah, dan dua titik di dalam rumah. Jamur yang dibudidayakan adalah Jamur Tiram dan Jamur Kuping. Namun, yang paling banyak dibudidayakan adalah Jamur Tiram putih.
Bibit jamur (spora) didapatkan dari Sukoharjo, karena di Tasikhargo tidak ada yang menjual spora jamur. Spora jamur ini berada dalam media botol dan dijual dengan harga Rp. 6000,- per botol. Satu botol spora dapat disebarkan menjadi sekitar 40 baglog. Pembuatan baglog pun masih dilakukan secara tradisional. Mereka memasukkan bahan-bahan untuk baglog (gerajen kayu) ke dalam plastik tebal yang telah dilubangi. Kemudian baglog ini disterilkan dengan cara disteam menggunakan dandang (panci besar) selama enam jam. Proses ini memakan waktu yang sangat lama karena satu panci hanya memuat sekitar dua puluh baglog. Gerajen kayu didapatkan dari Sidoarjo, desa sebelah Tasikhargo, karena gerajen kayu sulit didapatkan di Tasikhargo. Sebenarnya ada satu tempat gerajen kayu di dekat dusun Tunggul, namun karena kualitas gerajen kayu di sana kurang bagus, mereka lebih suka membeli gerajen kayu di Sidoarjo.
Proses perawatan jamur pun tidak terlalu susah. Setelah baglog ditata rapi di rumah jamur, baglog akan disiram dua kali setiap hari (atau sesuai dengan kondisi dan cuci). Penyiraman hanya dilakukan dengan cara dispray. Hal ini bertujuan untuk membuat rumah jamur tetap lembab sehingga jamur dapat tumbuh dengan baik. Jika cuaca sedang sangat panas, Jamur Kuping susah untuk diproduksi. Jika ingin tetap membudidayakan jamur kuping pada saat cuaca panas, sang pemilik harus rajin-rajin menyiram baglog-baglog tersebut. Bahkan dalam waktu satu hari, baglog bisa disiram sampai lima kali.
Setelah baglog siap dan sudah diberi spora, butuh waktu sekitar dua bulan agar jamur-jamur kecil tumbuh. Awalnya, spora akan menyebar membentuk serabut-serabut putih yang akan memenuhi baglog, kemudian akan muncul tunas-tunas jamur di mulut baglog. Setelah empat sampai tujuh hari, jamur ini akan tumbuh besar dan siap untuk dipanen. Sepuluh hari setelah jamur pertama panen, tunas jamur kedua pun tumbuh dan bisa dipanen lagi. Satu baglog bisa dipanen empat sampai lima kali. Namun jamurnya tidak akan sebesar pada saat panen pertama. Biasanya kalau sudah panen keempat atau kelima, baglog akan diganti dengan baglog yang baru. Penggantian baglog ini juga akan dilakukan ketika baglog sudah menjadi keriput dan tidak bisa menjadi media tanam lagi. Jika baglog sudah terserang oleh jamur-jamur liar yang berwarna hijau, baglog akan disingkirkan dari yang lainnya agar jamur liar ini tidak menyerang baglog-baglog lainnya. Maka dari itu, pemeriksaan rutin perlu dilakukan untuk menjaga kualitas jamur.
System pemasaran jamur di Tasikhargo ini masih belum begitu luas. Mas Anas selalu menitipkan jamur tiramnya ke tukang sayur yang kemudian akan dijual di pasar. Harga 1 kg jamur tiram yang ia jual ke tukang sayur adalah Rp 8.000,- , sedangkan kalau dia menjual sendiri di rumah harga jamur adalah Rp 10.000,-. Biasanya hanya warga-warga sekitar yang membeli jamur ke rumahnya. Mas Anas mengakui kalau dia belum membuat produk-produk hasil olahan jamur karena masih susah diterapkan di desa Tasikhargo yang mana banyak orang yang belum terbiasa mengonsumsi jamur. Sedangkan pemasaran jamur milik Mas Mul lebih luas. Mas Anas memasarkan via online seperti di berniaga.com. Dia sangat aktif memasarkannya di social media. Namun, kebanyakan yang ia pasarkan adalah baglog-baglog, atau spora. Sedangkan untuk Jamur Tiram mentah ia pasarkan untuk local. Sebenarnya fokus pemasaran usahanya adalah di luar kota. Dia sering mengirimkan baglog-baglog ataupun spora ke luar kota bahkan luar jawa. Selain itu, dia juga akan mengirimkan kripik jamur ke luar kota. Meskipun begitu Mas Mul tidak membuat kripik jamur setiap hari. Dia hanya membuat jika ada pesanan saja.
Persediaan jamur melimpah di dusun Juru Tengah, namun sayangnya pemasarannya masih belum luas apalagi belum ada sistem pembuatan olahan jamur yang terorganisasi. Jamur hanya dipasarkan mentahan saja padahal jamur merupakan bahan makanan yang gampang rusak. Penyuluhan hasil olahan jamur pun dilakukan namun terkendala oleh beberapa hal. Salah satu kendala yang dihadapi adalah masih belum tersedianya alat-alat yang dibutuhkan untuk memperlancar proses produksi, sehingga proses produksi memakan waktu yang sangat lama. Selain itu, harga alat yang dibutuhkan seperti spinner tidaklah murah.
Selain belum tersedianya alat, pemasaran jamur agak susah karena masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi jamur. Pemasaran harusnya menembus daerah Wonogiri kota, karena jika hanya di wilayah Jatisrono, minat warga masih belum terlalu tinggi untuk mengonsumsi jamur. Selain itu, di Jatisrono terdapat rumah makan jamur milik Pak Teguh dan rumah makan ini masih belum terlalu ramai mengingat kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi jamur masih belum tinggi.

Untuk kedepannya, ada kemungkinan untuk mengembangkan budidaya jamur ini. Mereka bisa membuat home industry, hanya saja mereka butuh usaha yang sangat keras dan harus mampu merangkul semua kalangan. Mereka juga mempunyai PR untuk menjalankan kembali koperasi dengan baik dan benar karena koperasi di Tasikhargo terkesan mati dan kurang begitu terlihat kerjanya. Meskipun begitu, hal mendasar yang harus segera dibenahi adalah kesadaran masyarakat untuk berwirausaha dan berpikir kreatif. Mereka harus mampu melihat celah-celah usaha. Untuk itu, perlu adanya seminar motivasi dan kewirausahaan untuk memantik semangat mereka dan memberikan pengetahuan yang lebih dalam akan wirausaha. Sebenarnya ada banyak jalan untuk berwirausaha dan ada banyak link yang bisa ditembus warga. Warga bisa berkonsultasi dengan Pak Teguh atau Pak Purwantoro yang memang sudah bergelut dalam wirausaha. Selain itu warga bisa bekerjasam dengan JPMI (Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia), ataupun BMT Mitra Usaha Mandiri. Tentunya semua ini perlu usaha keras dan niat agar tercipta home industry jamur yang terorganisasi.

Sepenggal Cerita untuk Anak-anak SD N II Tasikhargo

Wednesday, September 25, 2013 0 comments






“ini dibacanya \’thrē\ bukan \’trē\”

Dan dengan susah payah anak-anak itu mencoba menirukan \’thrē\ dengan baik dan benar. Beberapa dari mereka tetap saja melafalkan three dengan \’trē\ (tree). Namun ada beberapa dari satu dua anak yang berhasil melafalkannya dengan benar.

“ahh mbak alva ki le ngomong ilate ditekuk tekuk” dan tak jarang celetukan seperti ini muncul dari anak-anak yang sudah menyerah untuk melafalkan \’thrē\.

Tak dapat disangkali memang susah untuk melafalkan bahasa inggris dengan benar. Maka dari itu, kita harus membiasakannya sejak kecil. Kalau sejak kecil sudah diajari yang salah, bagaimana kedepannya?

Jadi itu sedikit cuplikan pengalaman mengajar bahasa inggris di SD N II Tasikhargo. Beribu kata mungkin tak dapat menggambarkan betapa campur aduknya perasaan ketika mengajar anak-anak yang “hyperaktif’. Yap, saat itu adalah pertama kalinya saya mengajar bahasa inggris di SD. Awalnya saya tidak tahu harus bagaimana, bahkan saya tidak tahu kemampuan anak-anak dalam berbicara bahasa inggris. Hari pertama masuk sekolah, saya memberanikan diri menemui bapak ibu guru SD N II Tasikhargo. Niat awal saya tidak lain dan tidak bukan untuk menjalin silturahmi serta meminta izin untuk ikut dalam kegiatan sekolah. Senangnya saya ketika mereka menyambut saya dengan baik dan ramah tamah. Mereka sangat senang jika ada yang mau membantu mengajar bahasa inggris. Dan di sinilah rasa percaya diri saya muncul karena saya diberi keleluasaan untuk mengajar bahasa inggris.

Dan tibalah saatnya..

Kelas yang pertama kali saya masuki adalah kelas IV. Ketika saya memasuki pintu kelas, semua anak langsung heboh memanggil nama saya dan berlarian menghampiri saya. Wooooww, sambutan yang sangat mengejutkan. Sebagian besar anak-anak sudah mengenal saya, jadi sudah tak aneh lagi jika mereka heboh ketika melihat saya di sekolah. Mengajar kelas IV merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Selain karena anak-anaknya yang super duper “aktif”, mereka belum pernah belajar bahasa inggris sebelumnya. Jadi ini akan menjadi kesan pertama bagi mereka. Woow tugas yang agak berat, tapi saya harus membuat kelas bahasa inggris menyenangkan. Awalnya saya mengajarkan greeting dan introduction. Sedikit demi sedikit saya ajari juga pronouncation dan alhasil mereka masih agak bingung dengan bahasa baru ini. Meskipun begitu, akhirnya mereka mengerti dan ketika saya meminta mereka maju ke depan untuk praktek greetings and introduction, krik krik tak ada satupun yang maju. Saya rasa mereka terlalu takut salah sehingga tidak ada yang maju. Anak-anak yang hyperaktif pun dalam sekejap berubah menjadi anak-anak yang super pendiam. Dan di saat seperti inilah saya membiarkan anak-anak itu untuk santai. Saya ajarkan mereka bernyanyi dalam bahasa inggris seperti ABC’s song. Dan mereka semua bernyanyi bersama-sama, tidak ada lagi anak pendiam karena mereka semua bersenang-senang sambil menyanyikan lagu ini. Ketika mereka suasana sudah cair lagi, saya menawarkan mereka untuk maju mempraktekkan greetings and introduction. Namun, untuk kali ini caranya berbeda. Mereka yang maju adalah mereka yang kalah dalam game. Yap, permainannya sederhana, saya melempar sebuah bola kertas yang kemudian akan dilemparkan terus menerus oleh anak-anak. Dan ketika lagu berhenti, anak yang terakhir memegang kertas harus maju untuk mempraktekkan greetings and introduction. And it works!  Yeaaaahh. Mereka semua senang dan tidak ada yang malu-malu untuk mempraktekkan berbicara bahasa inggris. Bahkan mereka berlomba-lomba untuk berbicara bahasa inggris.

Di SD N II Tasikhargo ini saya mendapatkan kepercayaan untuk mengajar kelas III-VI. Saya menghadapi berbagai macam tingkah anak-anak. Saya sangat bangga dengan mereka semua karena mereka sangat antusias untuk belajar meskipun kadang-kadang mereka membuat saya sebal. Yah tak jarang mereka usil seperti menyembunyikan sepatu saya dalam tong sampah, atau membawa kabur tas saya. Tidak hanya saya yang terkena ulah jail mereka, teman-teman saya yang menemani saya mengajar pun kadang sebal karena anak-anak jail kepada mereka. Tapi di sini saya menyadari, mereka adalah anak-anak yang sangat senang diperhatikan. Jadi saya sebisa mungkin menjadi sosok yang bisa dijadikan teman bagi mereka. Selain itu saya dan teman-teman juga harus bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka semua.

Tiga minggu berlalu, dan akhirnya tibalah saat itu, saat di mana kami harus berpisah, saat di mana kami tidak lagi mengajar mereka bahasa inggris. Saya tidak tahu harus berkata apa. Berpisah dengan anak-anak SD N II Tasikhargo bukanlah hal yang mudah. Mereka memberikan cerita sendiri bagi saya dan juga teman-teman. Saya tahu saya akan merindukan teriakan-teriakan mereka memanggil nama saya. Saya juga akan merindukan saat saya datang ke sekolah dan mereka semua berlarian dari kelas untuk memeluk saya atau hanya sekedar menyapa. Saya juga akan merindukan bermain bersama mereka, bercerita dan bercanda. Entah kenapa mereka memberikan kesan mendalam bagi saya, padahal saya bukanlah tipe orang yang menyukai anak-anak. Namun di sini, saya bisa menjadi orang yang sangat bersahabat dengan anak-anak. Saya akan merindukan senyum manis mereka, tawa dan candaan mereka. Dan ketika hari itu datang, saya hanya bisa diam tersenyum dan di dalam hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada anak-anak luar biasa dari SD N II Tasikhargo.


 
Story of a Halfling © 2011 | Designed by Interline Cruises, in collaboration with Interline Discounts, Travel Tips and Movie Tickets